Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan yang kaya akan keanekaragaman hayati, termasuk dalam sektor pangan. Dari Sabang sampai Merauke, setiap daerah memiliki pangan lokal khas yang bukan hanya lezat, tetapi juga sarat nilai budaya dan gizi. Kekayaan pangan ini merupakan potensi besar yang belum sepenuhnya digarap secara optimal, terutama dalam industri ekonomi kreatif.
Pangan lokal seperti sagu, jagung, umbi-umbian, rempah-rempah, hingga jajanan tradisional adalah warisan kuliner yang bisa dikembangkan menjadi produk bernilai tambah tinggi. Namun, kekuatan utama dalam menjadikan pangan lokal sebagai industri yang maju bukan hanya pada bahan mentahnya, melainkan cara mengemas dan memasarkannya.
Hal itu dikatakan jurnalis Eko Kurniawan Rore saat menjadi narasumber diskusi bulanan di Teras RKI, Jalan Sembada Medan. Jumat (13/6/2025). Diskusi ke VI ini mengangkat tema “Pengetahuan Pangan (Kelola Pangan)” dimoderatori Jones Gultom.
“Dalam era digital dan gaya hidup modern, pengemasan yang menarik, higienis dan ramah lingkungan menjadi kunci untuk menarik konsumen, terutama generasi muda dan pasar global. Desain kemasan yang menceritakan asal-usul makanan, nilai gizi, serta filosofi budaya dibaliknya akan memberikan nilai lebih dan membedakan produk dari sekadar makanan biasa,” kata Eko.
Selain itu, strategi pemasaran kreatif mulai dari branding yang kuat, pemanfaatan media sosial, kolaborasi dengan influencer kuliner, hingga platform e-commerce – akan memperluas jangkauan pasar. Cerita di balik pangan lokal, seperti proses pembuatan tradisional atau bahan-bahan khas daerah, dapat diangkat menjadi daya tarik utama yang memperkuat identitas produk.
Dengan pendekatan yang tepat, pangan lokal Indonesia tidak hanya bisa bertahan, tetapi juga bersaing di pasar nasional bahkan internasional. Industri ini bisa membuka lapangan kerja baru, memberdayakan petani dan pelaku UMKM, serta memperkuat ketahanan pangan berbasis kearifan lokal.
“Kekayaan pangan di Indonesia merupakan industri kreatif yang sangat berpeluang. Apalagi pangan yang dimiliki Indonesia terbilang unuk dan punya ciri khas masing-masing,” kata Eko.
Selain rasa, sisi historis dan nilai-nilai budaya, sambung Eko, juga merupakan nilai tambah. Misalnya, Rujak Simpang Jodoh di Tembung. Rujak Simpang Jodoh, mempunyai cerita tersendiri di masa lalu. Masyarakat menamakan Simpang Jodoh, karena di lokasi itu masyarakat dulu seing berkumpul, kemudian tak jarang menemukan jodohnya di sana.
“Simpang Jodoh itu, kalau digali sejarahnya, terutama di masa kolonial Belanda, akan banyak didapatkan cerita menarik. Termasuk cerita di awal-awal bagaimana lokasi itu dijadikan lapak untuk menjual rujak. Tambah lagi rasa bumbu rujaknya juga punya ciri khas tersendiri, sehingga antara produk kulinernya dengan historisnya menjadi klop” Kata Eko.
Salah seorang peserta diskusi Avena Matondang, mengkritisi inovasi-inovasi pangan yang sebagian menurutnya terlalu berani. Misalnya bagaimana pangan lokal yang “dimodikasi” kekinian, tetapi sering kehilangan ciri khasnya. Atau pangan luar yang dicampurkan dengan bumbu khas lokal.
“Rasanya sering jadi aneh di lidah. Dan malah kurang nyaman di perut. Karenanya menurut saya inovasi pangan juga perlu penyesuaian,” kata Avena.
Menanggapi itu, Eko tidak menapik. Menurutnya memang dibutuhkan waktu beradaptasi memang dibutuhkan waktu beradaptasi dengan pangan hasil inovasi. Tetapi jika sasarannya generasi milenial atau Generasi Z, terkadang rasa memang jadi nomor sekian. Generasi Z, sebut Eko, Kadang lebih tertarik dengan hal-hal baru. Tambah lagi mereka punya rasa penasaran yang tinggi.
Penulis : Jones Gultom