Ungkapan “kita adalah apa yang kita makan” adalah representasi atas pola konsumsi yang dibentuk dari lingkungan serta gerak mulut; menggigit, mengunyah lalu ditelan menjadi sebentuk energi untuk menjalani laku kehidupan. Rumah Karya Indonesia melalui program Jong Bataks Arts Festival 2025 mengadakan diskusi “Eksistensi Pangan lokal dalam Tantangan Globalisasi Pangan.”
Ditengah gencarnya program menaikkan nilai asupan yang dilakukan pemerintah sebagai alternatif cara menurunkan tingkat stunting pada generasi baru Indonesia seakan meminggirkan keterkaitan pangan lokal terhadap kehidupan dan peradaban kultural. Mengutip Steward (1953) evolusi adalah proses yang berkaitan dengan beragam unsur, lebih lanjut dikenal dengan evolusi multilineal. Pangan lokal merupakan strategi adaptif yang dibangun secara organik oleh manusia untuk menjalani laku kehidupan beserta dinamika yang terjadi didalamnya; apa yang di makan, lalu apa bagaimana cara memperolehnya, bagaimana cara mengonsumsinya, untuk dan kepada siapa disajikan hingga pada persoalan teknis ketersediaan rangkaian itu pada proses waktu terkini.
Jong Bataks Arts Festival 2025 menghadirkan diskusi tentang “Pangan Nusantara” sebagai strategi kebudayaan terkini lewat penghampiran sisi seni estetis; konvensional maupun kontemporer. Dalam rentang waktu, kebudayaan membuktikan laku kehidupan adalah gerak paralel yang saling berkaitan antar satu aspek dengan yang lainnya. Pangan lokal tidak hanya menjadi sumber energi; nutrisi, gizi, protein melainkan juga sumber konflik penguasaan, perubahan hingga mutasi. Rumah Karya Indonesia lewat Jong Bataks Arts Festival 2025 menghadirkan unsur kebaruan pendekatan terhadap pangan nusantara, yaitu gerak energi seni. Budaya dan pangan adalah dua sisi pada koin yang sama dan dihadirkan lewat suasana baru sebagai ukuran kemajuan peradaban kebudayaan, apakah itu sebagai perubahan yang cepat? atau sekedar perubahan secara lambat.
