Penulis : Jones Gultom
Salah satu produk budaya yang sangat potensial untuk menggerakkan ekonomi kerakyatan adalah pangan lokal. Lokal dalam pengertian khas dari masing-masing komunal masyarakat. Tidak semata-mata berkaitan dengan kebutuhan adat (tradisi) tetapi dalam pengertian, konteks dan penyebarannya yang lebih luas.
Masyarakat juga mulai menyadari kekuatan ekonomi tersembunyi yang ada di balik pangan lokal itu. Tidak heran, dalam beberapa tahun terakhir, berbagai stakeholder mulai kembali melirik “batang terendam” ini.
Di Sumatra Utara (Sumut) sejumlah pasar tradisional yang khusus menjajakan pangan lokal mulai bermunculan. Salah satunya “Pasar Kamu” di Deli Serdang yang kini mencuri perhatian publik.
Seiring dengan trend abad 21, dimana masyarakat global semakin memberi perhatian kepada ekokultural wisata, pangan lokal telah menemukan tempatnya.
Yang diuntungkan tentu Indonesia. Karena negeri ini ditakdirkan sebagai bangsa yang kaya akan keberagaman etnis. Peluang itu harus cepat ditangkap. Kolaborasi menjadi kata kunci.
Memang tak mudah membangkitkan kembali pangan lokal dan memajangkannya di etalase utama pasar-pasar kuliner global. Degradasi budaya sekaligus gempuran globalisme kuliner menjadi tantangan tersendiri.
Hal itu terungkap dalam diskusi seri kedua Teras Rumah Karya Indonesia (Teras RKI) yang digelar di Ruang Publik RKI, Jalan Sembada No 260 Padang Bulan Medan, Jumat (21/2/2025).
Diskusi kali ini mengangkat tema “Eksistensi Pangan Lokal dalam Tantangan Globalisasi Pangan”.
Adapun peserta diskusi berasal dari berbagai kalangan antara lain komunitas-komunitas kreatif yang ada di Medan, mahasiswa, pegiat seni budaya dan influencer.
Dimoderatori Jhon Fawer Siahaan, diskusi yang menghadirkan antroplog dari Universitas Negeri Medan Dr Rosramadhana MSi inipun berlangsung guyub. Para peserta memberikan pikiran, pertanyaan dan tanggapannya.
“Kita memiliki banyak sekali pangan nusantara yang kita sebut pangan lokal. Kekayaan itu sebagai konsekuensi dari keberagaman etnis yang ada di Indonesia.
Pangan lokal ini tidak semata-mata diartikan dalam konteks adat, tetapi sekarang ini juga harus dilihat peluangnya dalam perspektif ekonomi,” kata Ros.
Di Sumatra Utara saja, papar Ros, kita dapat melihat begitu kayanya pangan lokal kita. Masing-masing daerah atau etnis punya pangan khasnya tersendiri. Ini kekayaan kita yang harus kita kemas dalam sudut pandang ekonomi, sebut Ros.
Namun Ros juga mengakui, sepanjang pengamatannya ada berbagai kendala yang dialami. Salah satunya ada masalah pewarisan.
Menurut Ros, gagalnya pewarisan pangan lokal telah tidak hanya membuat hilangnya produk fisik pangan lokal itu, tetapi juga pengetahuan di dalamnya.
Hal lain jelas Ros l, adalah masalah standarisasi. Meski hal ini bukan persoalan paling krusial, tetapi dalam konteks identitas juga perlu diperhatikan.
“Misalkan lappet. Beda pembuat beda resepnya. Tidak ada standarisasi Memang perbedaan itu bisa jadi ciri khas, tetapi dalam kebudayaan identitas itu tetap penting,” kata Ros.
Kalau soal standarisasi resep mungkin masih bisa ditolerir. Yang lebih ironis adalah kita banyak kehilangan resep pangan lokal kita, karena tidak berjalannya pewarisan dalam keluarga.
“Mungkin generasi muda sekarang ini sudah tidak banyak yang tahu bagaimana membuat naniura, pangan khas orang Batak Toba. Atau cimpa di Karo. Bukan salah mereka seluruhnya, ya mungkin memang pewarisannya yang tidak jalan,” kata Ros.
Ros juga tidak menampik, jika propaganda kuliner impor begitu kuat merangsek dalam diri masyarakat. Makanan-makanan siap saji dengan promosinya yang luar biasa berhasil mempengaruhi pikiran masyarakat.
“Inilah yang perlu dilawan. Bagaimana mengkampanyekan pangan lokal kita ke ruang-ruang publik. Bukan berarti menolak globalisme, tapi dalam konteks ekonomi, kalau mau bangkit, kita harus jadi produsen bukan konsumen,” kata Ros.
Salah seorang peserta diskusi, Lady memberikan tips bagaimana dia mempromosikan pangan lokal dimulai dari lingkungan yang paling kecil. Ibu rumah tangga ini mengatakan, dia membiasakan anak-anaknya membawa cemilan ke sekolah berupa pangan lokal.
“Sejak kecil anak-anak saya cekoki dengan pangan lokal. Cemilan mereka ke sekolah biasanya lappet atau paling gampang pisang rebus. Itu upaya saya sehingga nanti kalau anak-anak sudah besar tidak terbiasa dengan makanan instan,” kata Lady.
Menurut Lady, prinsip yang dilakukannya bukan berarti dia dan keluarganya anti makanan impor. Tapi setidaknya yang paling tahu jaminan kesehatan makanan itu adalah si pembuatnya sendiri.
Terkait gerakan membangkitkan kembali pangan lokal itu, peserta diskusi lainnya Eka Dalanta menceritakan pengalamannya. Menurutnya gerakan itu harus dikerjakan secara bersama-sama.
“Mungkin kita bisa memulainya lagi dengan mulai mendata ulang pangan lokal kita. Mempelajari cara membuatnya dan kemudian memasarkannya. Ini harus dikerjakan bersama-sama,” kata Eka.
Eka sepakat jika peran influencer dan media sangat penting untuk mensosialisasikan ini. Bukan hanya mengulas terkait rasa, tapi juga pengetahuan yang ada di balik pangan lokal itu.
Diskusi yang berlangsung kurang lebih 2 jam ini diakhiri dengan ajakan membangun kesadaran pentingnya mengkonsumi pangan lokal dalam keseharian.
Eksistensi pangan lokal harus dibangkitkan lagi sebagai salah satu daya ekonomi sekaligus mengantisipasi ancaman krisis pangan yang semakin mengancam. Indonesia harus berdaulat pangan, serempak para peserta diskusi
satu Respon
Diskusi yang keren 🔥