Penulis : Ibnu Avena
Hari ini kawasan Danau Toba sebagai kaldera Toba mendapat peringatan (kartu kuning) oleh Unesco Global Geopark Network, peringatan ini memuat bentuk pengelolaan yang masih belum menyentuh beberapa isu penting; geo diversity, bio diversity dan culture diversity. Peringatan ini adalah bentuk tamparan keras bagi pengembangan wilayah Danau Toba yang selama ini dilakukan.
Diskusi Terbuka Jaringan Komunal Se-Danau Toba dan Sumatera Utara mengadakan bincang kritis dan santai lewat pembahasan “Toba Caldera Unesco Global Geopark – Kartu Hijau atau Kartu Merah???” untuk mendudukkan pemahaman yang menyeluruh terhadap kinerja institusi dengan adanya peringatan “yellow card” oleh Unesco terhadap pengelolaan kaldera Toba yang carut-marut, tumpang-tindih dan amburadul. Bukan tanpa sebab keluarnya pernyataan ini, di lapisan masyarakat, baik secara pribadi maupun komunal hingga saat ini masih bergerak secara masif dan sporadis membangun kawasan Danau Toba sebagai peradaban masa kini.
Persoalan ini adalah kewajiban bersama untuk mendudukkan pemahaman dan solusi atas dinamika yang berlangsung hingga saat ini, apakah masyarakat dilibatkan? Program yang dilaksanakan sudah berproses sampai dimana? Atau sekedar kebijakan atas penggunaan anggaran semata? Pertanyaan demi pertanyaan itu menggelayut menjadi awan mendung bagi perkembangan peradaban masyarakat kawasan Danau Toba yang seakan tidak pernah terjawab dan masing-masing pihak memiliki kepentingan ego-sektoral.
Diskusi yang dimulai pada pukul empat lewat hingga menjelang berbuka puasa membuka kotak pandora pengelolaan kawasan Danau Toba hingga hari ini, dengan menghadirkan John Robert Simanjuntak dan Corry Parama Pandjaitan sebagai narasumber menjadi cahaya yang penerang menelusuri jalanan gelap dan terjal pengelolaan kawasan Danau Toba.
Sebagai narasumber, Corry Parama Pandjaitan memaparkan tentang carut-marut administrasi (manajerial) dan visibiliti terhadap pengelolaan kawasan Danau Toba yang belum selesai berproses lebih lanjut sehingga menjadi alasan keluarnya peringatan oleh Unesco sebagai institusi global yang mengikat jaringan geoparka dunia. Permasalahan administrasi ini seakan sulit untuk dilakukan walau pada realitanya kerap kali menghadirkan akademisi yang tidak menghasilkan pemikiran solutif, strategis dan aplikatif terhadap pengelolaan kawasan Danau Toba, utamanya pengelolaan 16 geosite serta dua pusat informasi yang tidak memperbaharui pengalaman empiris dulu dan realita Danau Toba.
John Robert Simanjuntak menuturkan bahwa pada perkembangannya kemudian, kawasan Danau Toba atau yang disebut Kaldera Toba dengan sebaran 7 Kabupaten adalah wilayah konservasi pengetahuan yang diamanatkan secara komunal dan dipertegas dengan masuknya kawasan Danau Toba pada jaringan geopark dunia oleh Unesco, proses yang dimulai dengan menguatkan kembali pengetahuan kultural masyarakat, keanekaragaman hayati, bentang alam terus dilakukan secara komunal oleh masyarakat, tidak hanya sebatas kepentingan kaldera melainkan pengetahuan terhadap laju peradaban kehidupan manusia.
Diskusi yang diprakarsai oleh jaringan Komunal se-Danau Toba dan Sumatera Utara ini sejatinya berusaha menghadirkan realita sesungguhnya terhadap ego-sektoral yang berjalan seiring dengan pengelolaan kawasan Danau Toba. Danau Toba tidak hanya persoalan air, tanah dan udara, melainkan juga kehidupan manusia, binatang, kontur alam, peradaban dan kehidupan. Danau Toba hari ini adalah perpanjangan Danau Toba dari masa lalu dengan segala kompleksitasnya, sudah seharusnya masing-masing pribadi maupun institusi berbagi dan sama bekerja untuk Danau Toba hari ini dan masa depan.
Diskusi yang dihadiri oleh beragam pribadi dan komunitas Se-Danau Toba dan Sumatera Utara ini juga menghadirkan unsur BPKDT dan BPODT sebagai perpanjangan tangan pemerintah untuk pengelolaan kawasan Danau Toba sebagai proses perimbangan fakta dan data kawasan Danau Toba. Dengan pelibatan multi-sektoral, diskusi ini adalah pelita yang akan menjadi penerang bagi pengelolaan kawasan Danau Toba yang tidak hanya sekedar merubah “yellow card” peringatan oleh Unesco melainkan sarana reflektif tentang apa dan bagaimana kita menceritakan Danau Toba di hari esok. ***